Oleh: Yusuf Rahman *)
Tata kelola keuangan yang baik merupakan fondasi utama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Komitmen untuk memperkuat sistem perencanaan dan penganggaran menjadi kunci dalam menekan celah terjadinya penyimpangan anggaran. Ketika proses perencanaan dan penganggaran dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka ruang gerak praktik korupsi dapat dipersempit secara signifikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menegaskan bahwa sektor perencanaan dan penganggaran adalah dua area paling rawan terhadap penyimpangan. Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah III KPK, Ely Kusumastuti, menyampaikan bahwa sekitar 90 persen potensi kerugian negara berasal dari tahap ini. Maka dari itu, pembenahan pada dua titik krusial ini bukan hanya langkah administratif, melainkan merupakan tindakan strategis untuk mencegah terjadinya praktik korupsi sejak dari hulu.
Banyak praktik korupsi terjadi bukan karena lemahnya pengawasan semata, tetapi karena sistem yang tidak tertata sejak awal. Beberapa pokok pikiran legislatif masih memerlukan penyelarasan agar semakin terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah secara menyeluruh. Ketidaksesuaian ini menciptakan benturan kepentingan yang membuka ruang bagi yang berpotensi menciptakan pengaruh di luar mekanisme formal, terutama jika usulan tersebut muncul di luar waktu yang ditetapkan atau tanpa melalui mekanisme resmi seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Penyaluran hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan daerah juga menjadi titik rawan. Ketika pengalokasian dana dilakukan tanpa basis kebutuhan riil dan tidak didukung dengan dokumen pendukung yang sah, potensi penyelewengan pun meningkat. Bahkan dalam beberapa kasus, proses pencairan disertai dengan permintaan komitmen fee, yang menunjukkan bahwa relasi transaksional masih hidup dalam birokrasi anggaran daerah.
Dalam konteks ini, pembenahan tata kelola tidak dapat dilakukan secara parsial. KPK menekankan pentingnya sinergi antarsektor, baik antara eksekutif dan legislatif maupun dengan lembaga pengawasan seperti BPKP. Kolaborasi yang erat akan mendorong proses penganggaran yang berbasis data dan kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar akomodasi kepentingan jangka pendek atau tekanan politik sesaat.
Perwakilan BPKP Kalimantan Selatan, Ayi Riyanto, menyampaikan bahwa pada tahun 2025 BPKP Kalimantan Selatan telah melakukan Evaluasi Perencanaan dan Penganggaran Daerah (Evran) di seluruh Indonesia, termasuk di Kalsel. Hasil evaluasi tersebut menghasilkan berbagai rekomendasi yang bertujuan mendorong efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran. Ini menunjukkan bahwa pendekatan sistemik dan berbasis data menjadi elemen penting dalam pembenahan tata kelola keuangan.
Di tingkat pemerintah kabupaten, komitmen serupa juga ditunjukkan. Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), misalnya, telah menyelaraskan langkah-langkah penguatan manajemen risiko di sektor pelayanan publik. Inspektur Daerah Kabupaten HSS, Kiky Rachmawaty, mengungkapkan bahwa pihaknya menjadwalkan pelatihan Manajemen Risiko sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik yang bebas dari korupsi. Inisiatif ini sejalan dengan visi kepemimpinan daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan melayani.
Komitmen kolektif dalam menciptakan ekosistem birokrasi yang bebas korupsi juga didukung oleh harmonisasi antara eksekutif dan legislatif. Pemkab HSS menegaskan bahwa hubungan yang sinergis dengan pihak legislatif merupakan modal utama dalam mengawal agenda transparansi anggaran. Ketika relasi antarlembaga dibangun atas dasar kepentingan publik dan integritas, maka upaya mewujudkan clean government dan good governance bukanlah slogan semata, melainkan kenyataan yang bertahap dapat dicapai.
Pembenahan tata kelola anggaran bukan tugas yang bisa ditunda. Praktik-praktik penyimpangan yang bermula dari perencanaan yang tidak terarah dan penganggaran yang tidak akuntabel harus disudahi dengan langkah konkret dan terukur. Dalam hal ini, pendekatan yang hanya normatif tidak lagi memadai. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengeksekusi kebijakan reformasi secara menyeluruh, mulai dari penyusunan rencana hingga pelaksanaan program.
Dengan adanya pendekatan sistemik seperti Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP), pemerintah pusat melalui KPK membangun mekanisme pengawasan aktif yang tidak lagi menunggu terjadinya pelanggaran. Pendekatan ini selaras dengan amanat Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, yang menggariskan peran KPK untuk melakukan koordinasi dengan instansi pemberantasan korupsi dan pelayanan publik. Artinya, peran lembaga seperti KPK tidak hanya berada pada sisi penindakan, tetapi juga pada penguatan sistem yang mampu mencegah korupsi dari dalam.
Dalam proses ini, penguatan kapasitas aparatur pemerintah daerah menjadi sangat penting. Pelatihan, pendampingan, dan evaluasi yang berkelanjutan adalah instrumen yang dapat memastikan bahwa setiap individu di birokrasi memiliki pemahaman dan komitmen terhadap prinsip-prinsip integritas.
Pemerintah pusat dan daerah perlu menjaga semangat reformasi tata kelola ini agar tidak sekadar menjadi formalitas. Hanya dengan kemauan kolektif dan konsistensi dalam menjalankan agenda pembenahan anggaran, praktik korupsi dapat dicegah secara substansial. Ketika keuangan publik dikelola dengan transparansi dan tanggung jawab, maka kepercayaan masyarakat akan meningkat, dan pembangunan dapat berjalan secara adil dan berkelanjutan.
*) Analis Kebijakan Publik
[ed}
Leave a Reply