Oleh: Albert Sianuay )*
Reformasi sektor pertahanan nasional Indonesia memasuki babak baru dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Keberadaan undang-undang ini tidak hanya mencerminkan respons negara terhadap dinamika ancaman global dan domestik yang terus berkembang, tetapi juga menjadi bukti bahwa proses legislasi strategis di bidang pertahanan tetap menjunjung tinggi asas demokrasi, partisipasi publik, dan kepastian hukum.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa proses pembentukan UU TNI telah memenuhi seluruh kaidah normatif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Dalam konteks hukum formal, RUU Perubahan UU TNI melalui setiap tahapannya secara tertib dan taat asas.
Pada tahap Perencanaan, Pemerintah telah melaksanakan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat sejak tahun 2023. Hal ini dilaksanakan dalam berbagai Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) Mabes TNI. Kegiatan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 16 hingga Pasal 23 UU P3, yang mewajibkan adanya naskah akademik dan pendalaman terhadap substansi awal rancangan. Aspirasi dari forum-forum tersebut menjadi fondasi awal dalam membentuk materi muatan UU TNI yang baru.
Selanjutnya, pada Tahap Penyusunan, Pemerintah bekerja secara kolektif dan terkoordinasi dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) setelah menerima surat dari DPR RI tertanggal 28 Mei 2024. Sesuai dengan Pasal 43 hingga Pasal 49 UU P3, proses penyusunan ini dikawal oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sebagai koordinator lintas sektoral. Di dalamnya, Pemerintah juga menyelenggarakan kegiatan uji publik berupa dengar pendapat dengan berbagai elemen masyarakat, mulai dari kementerian/lembaga, akademisi, hingga kelompok masyarakat sipil.
Uji publik ini menjadi ajang penajaman dan penyempurnaan substansi RUU. Hasil dari forum ini kemudian dimasukkan ke dalam DIM dan dijadikan dasar dalam rapat-rapat penyusunan dan pengayaan substansi RUU secara lebih sistematis dan transparan.
Memasuki Tahap Pembahasan, Pemerintah dan DPR RI memedomani ketentuan Pasal 66 UU P3 yang mengatur adanya Pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II. Proses ini dijalankan dalam berbagai rapat kerja dan rapat dengar pendapat umum, termasuk kunjungan kerja ke berbagai provinsi guna menjaring aspirasi secara lebih luas dan beragam.
Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menjelaskan bahwa partisipasi publik telah dilakukan secara menyeluruh sejak tahap perencanaan hingga pengesahan. Menurutnya, DPR tidak hanya menerima masukan secara administratif, tetapi juga secara substantif melalui berbagai forum diskusi dan kunjungan langsung ke daerah-daerah seperti Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sumatra Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Langkah ini bertujuan untuk menangkap kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat di berbagai daerah terkait peran dan fungsi TNI.
Penegasan bahwa UU TNI disusun secara partisipatif juga datang dari Ketua LSM Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat (Gempar) NTB, Suburman. Ia menyatakan bahwa perubahan UU TNI merupakan langkah taktis dalam rangka memperkuat strategi nasional menghadapi spektrum ancaman baru, termasuk ancaman nonmiliter seperti siber, informasi, bencana alam, dan krisis energi. Menurut Suburman, revisi UU TNI adalah langkah yang tepat dalam mendukung kepentingan nasional. Tugas dan fungsi TNI perlu diperkuat agar lebih efektif dan efisien, terutama dalam konteks global yang cepat berubah.
Keterlibatan masyarakat sipil dalam proses ini menunjukkan bahwa pembentukan UU TNI tidak sekadar menjadi domain tertutup institusi negara, melainkan menjadi proses terbuka yang menjunjung tinggi prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Revisi ini juga menegaskan komitmen negara dalam memastikan supremasi sipil tetap menjadi pondasi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, sekaligus menjamin profesionalisme militer dalam bingkai konstitusi.
UU TNI yang baru juga memberikan kepastian hukum terkait tugas-tugas perbantuan TNI dalam situasi tertentu yang bersifat nonkonvensional. Di tengah situasi krisis multidimensi baik dari aspek geopolitik, ideologi, sosial, maupun digital, TNI kini memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk menjalankan perannya secara adaptif, namun tetap dalam pengawasan dan koordinasi dengan otoritas sipil.
Sebagai bagian dari sistem pertahanan negara, TNI dituntut tidak hanya kuat dari sisi alutsista, tetapi juga fleksibel secara peran dan fungsi dalam menjawab tantangan kontemporer. Revisi UU TNI memungkinkan hal ini terlaksana secara konstitusional dan profesional.
Kini, saatnya seluruh elemen bangsa. termasuk masyarakat sipil, akademisi, hingga media, terus mendukung implementasi UU TNI sebagai bagian dari upaya kolektif memperkuat pertahanan nasional. Kita perlu percaya bahwa UU ini adalah bentuk nyata supremasi sipil dalam negara demokratis yang sekaligus menegaskan komitmen terhadap kepentingan nasional.
Penting bagi publik untuk tetap mengawal pelaksanaan UU ini dengan semangat positif dan konstruktif. Sebab, keamanan nasional bukan hanya tugas TNI semata, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa.
)* Penulis merupakan Pengamat Hukum Militer
Leave a Reply