Pesan Suara Lintas Iman Merawat Tenang di Tengah Ricuh Demonstrasi

Oleh: Latea Latra

Gelombang aksi yang mulai dari penolakan isu kenaikan gaji anggota DPR RI dan kemudian melebar menjadi gerakan nasional menunjukkan dua wajah demokrasi kita sekaligus yakni semangat partisipasi yang sehat dan risiko eskalasi yang mengkhawatirkan. Ribuan mahasiswa, buruh, hingga komunitas ojek online turun ke jalan menyuarakan keresahan. Namun ketika energi moral itu terseret menuju tindakan merusak, tujuan awal mudah kabur dan yang tertinggal justru menjadi trauma sosial. Di fase rawan seperti ini, kita memerlukan jangkar kebijaksanaan, bukan untuk menutup kritik, melainkan agar kritik tiba di alamat kebijakan tanpa meninggalkan luka baru di ruang publik.

Kebebasan berpendapat memerlukan pasangan setianya berupa tanggung jawab. Tanpa tanggung jawab, kebebasan berubah menjadi pelampiasan; tanpa kebebasan, tanggung jawab kehilangan makna. Itulah mengapa seruan tokoh lintas iman belakangan ini relevan dimana mereka mengingatkan bahwa demokrasi beradab menuntut cara yang beradab. Tokoh agama Buddha, Bhante Kamsai Sumano, menekankan pentingnya kebijaksanaan sebagai jalan menuju ketenangan dan kebahagiaan bersama. Kenangan bukan pasifisme; ketenangan adalah sikap batin yang memungkinkan akal sehat bekerja, sehingga tuntutan disusun rapi, disampaikan tertib, dan diterima publik luas sebagai agenda kolektif, bukan sekadar letupan emosi kelompok.

Nada serupa datang dari komunitas Kristen. Perwakilan Gereja Bethel Indonesia Nusantara (GBIN), Pendeta Johnny Lokollo, memandang pertemuannya bersama para tokoh agama dan Presiden Prabowo sebagai momentum untuk mendoakan bangsa di tengah dinamika yang belum sepenuhnya kondusif. Ia menggarisbawahi harapan agar suasana menjadi tenang, para pejabat memahami kebutuhan rakyat, dan proses bernegara berjalan lancar serta stabil. Bagi publik, pesan ini bukan sekadar ajakan berdoa; ia mengandung etos “mendinginkan suhu” agar saluran dialog tidak buntu. Stabilitas, dalam kerangka ini, bukan antitesis demokrasi, melainkan prasyarat agar kebijakan bisa diperbaiki tanpa mengorbankan rasa aman warga.

Dari khazanah Hindu, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, mengajak masyarakat untuk bersatu dan meneguhkan kepercayaan kepada Tuhan. Ia mendorong kita terus memelihara doa dan persatuan, menegaskan spirit kebangsaan yang tak lekang oleh perbedaan pendapat di hari-hari tegang. Ajakan untuk menegakkan persatuan bukanlah permintaan menelan bulat-bulat kebijakan; justru persatuan memberi ruang lebih leluasa untuk memperbaiki kebijakan bersama, karena lawan politik bukan dianggap musuh eksistensial, melainkan mitra perdebatan dalam rumah yang sama bernama Republik.

Pemerintah telah menyediakan wadah partisipasi yang konkret dan mudah diakses: forum dengar pendapat rutin, mekanisme umpan balik kebijakan, dan jaminan bahwa kritik yang disampaikan tertib tidak akan dibalas represif. Peran masyarakat sipil sama pentingnya: meramu tuntutan yang terukur, menghindari provokasi yang memancing emosi, serta menolak aksi yang menjadikan fasilitas publik sebagai tumbal simbolik. Ingat, fasilitas itu milik semua; merusaknya berarti memotong saraf kehidupan sendiri—transportasi, layanan kesehatan, sekolah, hingga usaha kecil di sekitar lokasi.

Seruan tentang kebijaksanaan mengajak kita menata batin terlebih dahulu: bukan mengekang amarah, tetapi menyalurkannya menjadi keberanian yang produktif. Termasuk entingnya suasana kondusif agar keputusan rasional dapat dikerjakan tanpa tekanan kekacauan yang membutakan. Sementara pesan tentang persatuan menegaskan horizon jangka panjang: perubahan yang kita dambakan harus ditempuh tanpa merobek kain kebangsaan. Tiga suara ini bertemu pada kesadaran etik yang sama, cara menentukan arah sering kali lebih menentukan masa depan daripada arah itu sendiri.

Sebagian orang mungkin menyela, “Bukankah tanpa tekanan jalanan, pemerintah lamban berubah?” Pertanyaan itu sah. Namun sejarah modern menunjukkan dilema klasik bahwa tekanan yang tak terkelola mudah ditunggangi, dan ketika aksi menyeberang ke anarki, simpati publik surut, ruang kompromi menyempit, dan kebijakan kerap lahir dalam suasana darurat—yang justru kurang deliberatif. Strategi yang lebih tahan uji adalah kombinasi tekanan demokratis yang tertib, konsolidasi lintas jaringan (kampus, serikat, komunitas), dan negosiasi berbasis bukti di meja perundingan. Tekanan tetap ada, tetapi dipompa oleh etika publik yang membuat lawan bicara sulit menolak tanpa argumen.

Kita juga perlu berpikir dalam kerangka “keadilan prosedural” bahwa hasil yang adil mensyaratkan proses yang dapat dipercaya. Proses itu tidak kompatibel dengan penjarahan, perusakan, atau serangan terhadap rumah pribadi, betapapun emosinya dapat dimengerti. Masyarakat kita menilai keadilan bukan hanya dari “apa” yang dituntut, melainkan “bagaimana” cara menuntutnya. Ketika cara dijaga, legitimasi menguat; ketika legitimasi menguat, pintu kebijakan terbuka lebih lebar.

Pada akhirnya, ruang publik bukan ring tinju. Ia lebih mirip forum musyawarah besar yang gaduh namun beradab. Seruan lintas iman belakangan ini—tentang kebijaksanaan, ketenangan, dan persatuan—bukan ajakan bungkam, melainkan ajakan menajamkan nalar. Tugas kita bukan memadamkan api aspirasi, melainkan memastikan apinya menghangatkan, bukan membakar rumah bersama. Jika itu yang kita sepakati, maka jalan damai bukan pilihan “lunak”; ia justru strategi paling tangguh untuk memastikan suara rakyat sampai, berubah menjadi kebijakan, dan dirasakan manfaatnya oleh mereka yang paling membutuhkan.

*) Pemerhati Politik dan Pertahanan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *